Senin, 31 Agustus 2009

ONE PIECE

Ass.....

Rabu, 24 Juni 2009

ASAL USUL KOTA PURUK CAHU

Setelah mencari-cari dari berbagai sumber gue mengutip tentang kota kelahiran q
Kota Puruk Cahu terletak di Timur Laut propinsi Kalimantan Tengah bagian hulu sungai Barito. Berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 2002 tanggal 10 April 2002, Puruk Cahu dibentuk menjadi Ibukota kabupaten Murung Raya. Meski demikian kota Puruk Cahu sudah dikenal sejak jaman kolonial. Putra Pangeran Antasari yaitu Sultan Muhamad Seman gugur dalam pertempuran melawan pasukan Kapten Cristoffel dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Puruk Cahu. Dengan gugurnya Sultan Muhamad Seman dalam pertempuran maka berakhirlah Perang Barito. Dan ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963, di Puruk Cahu juga merupakan salah satu tempat latihan persiapan pasukan untuk mengganyang Malaysia.
Menurut ceritra rakyat yang masih hidup di kalangan masyarakat, konon sebelum jaman penjajah, Kota Puruk Cahu adalah bermula dari sebuah perkampungan penduduk “Likun Puan” di pinggir sungai Barito tepatnya terletak tidak jauh dari muara sungai Beriwit yaitu anak sungi Barito.
Perkampungan “Likun Puan” dibangunnya oleh suku Dayak Murung, Siang dan selanjutnya diikuti oleh suku Bakumpai. Likun Puan berasal dari kata Likun artinya Teluk dan Puan adalah tumbuhan sejenis “kulur” apabila buahnya sudah matang berwarna merah dan manis rasanya. Masyarakat perkampungan Likun Puan hidup sejahtra, tenteram, rukun dan damai.
Sejahtera karena alam sekitar sangat kaya akan Sumber Daya Alam sehingga dalam memenuhi kebutuhan pangan sangat gampang. Hutan masih perawan, lahan pertanian subur, segala jenis satwa dan ikan masih banyak. Tidak ada istilah “Rawan Pangan” tidak ada kata “Busung Lapar”. Seluruh masyarakat hidup dengan nilai budaya kebiasaan pangan “Beragam, Bergizi dan Berimbang”.
Tenteram karena masyarakat semua taat akan hukum walaupun doktrin dan sangsi hukum tidak tertulis. Sangat jarang terjadi tindakan kriminal, tidak terdengar pelanggaran Hak Asasi Manusia, jauh dari rasa saling curiga, berkembanga budaya kejujuran dan bertanggung jawab.
Aura kedamaian juga sangat terasa, masyarakat hidup berdampingan dengan rukun diikat oleh kentalnya rasa persaudaraan, manusia dipandang semua sama tidak ada rasa lebih mulia atau hina. Dalam menyelesaikan pekerjaan seperti berladang, membangun rumah kediaman dan melaksanakan upacara keagamaan selalu dilaksanakan dengan gotong royong. Rasa solidaritas juga sangat tinggi, dalam memberikan bantuan berupa moril dan matril dilakukan dengan tulus tanpa pamrih. Apabila salah satu warga mendapat ikan atau binatang selalu dibagi rata. Tertanam kebiasan lebih bangga bisa memberi dan sangat malu menjadi peminta-minta.
Diantara penduduk “Likun Puan” terdapat seorang janda dengan kedua anaknya, sulung bernama Caha dan si bungsu bernama Sakah. Suaminya telah lama meninggal karena sakit. Sejak kematian suaminya, ia berperan sebagai ibu segaligus menjadi ayah bagi kedua anaknya. Hidup mereka cukup memperihatinkan, tinggal di ladang, rumahpun hanya berupa pondok. Sangat jarang mereka berintereaksi dengan masyarakat lain.
Setelah kedua putranya dewasa kehidupan mereka pun mulai mengalami peningkatan. Ibu janda ini tidak lagi kerja keras, semua kebutuhan pokok dipenuhi oleh Caha dan Sakah. Bahkan mereka tidak lagi tinggal di pondok karena Caha dan Sakah sudah mendirikan rumah “Betang” di sebuah bukit tidak jauh dari perkampungan Likun Puan.
Sakah sudah dewasa dan menikah dengan seorang gadis dari “Likun Puan”. Sebagaimana adat suku Dayak apabila sudah menikah laki-laki harus mengikuti istrinya. Demikian juga halnya dengan Sakah, ia harus berpisah dengan ibu dan kakaknya untuk tinggal bersama istrinya.
Sepeninggalan Sakah, Caha hanya hidup berdua dengan Ibunya di “Betang”. Sangat jarang berkomunikasi dengan orang lain, sekan-akan terisolasi dari orang lain. Maklumlah kala itu jumlah manusia masih sedikit dengan pola hidup agraris dan tergantung dari alam.
Pada suatu ketika, “Likun Puan” mengalami bencana. Buah-buahan gagal berbuah, padi pun mengalami gagal panen dan alam terasa kurang bersahabat. Semua penduduk merasa resah karena tidak biasanya hal ini terjadi.
Untuk mencari solusi atas masalah ini, warga “Likun Puan” mengadakan musyawarah. Dari musyawarah tersebut warga berkesimpulan mengadakan upacara “Naah Antang” yaitu sebuah upacara dalam agama Hindu “Kaharingan” bertujuan untuk memohon petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala persoalan yang dialami umat manusia.
Setelah semua sarana sudah siap, upacara “Naah Antang” pun dilaksanakan. Seorang rohaniwan Hindu yang disebut Basi mengucapkan mantra “Nawui” dengan posisi menghadap ke arah timur. Setelah selesai “Basi” mengucapkan mantra tiba-tiba seekor burung Elang “Antang Taah” yaitu simbol Kemaha Kemahakuasaan Tuhan dalam memberikan petunjuk pun datang dan berputar selama tiga kali putaran di arah sebelah kiri “Basi” tempat upacara dilaksanakan, tepatnya di atas “Betang” tempat tinggal Caha bersama Ibunya. Kemudaian Burung Elang itupun menghilang entah kemana.
Dari hasil pentunjuk dalam upacara “Naah Antang” tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya bencana yang mereka alami ada hubungannya dengan Caha dan Ibunya.
Oleh para tokoh-tokoh Kaharingan maka Caha dan ibunya di panggil untuk dimintai keterangan tetang apa yang telah mereka perbuat. Atas pengakuan Caha dan Ibunya ternyata mereka telah melakukan hubungan intim selayak suami istri.
Karena perbuatan Caha dan Ibunya melanggar norma agama dan norma susila sehingga mencemari kesucian alam lingkungan maka Caha dan Ibunya dikenakan sangsi yaitu mensucikan alam lingkungan dengan mengadakan upacara “Nawai Onow”.
Sejak peristiwa inilah maka masyarakat “Likun Puan” memberikan nama gunung tersebut Puruk Cahu. Kata Puruk Cahu berasal dari bahasa Dayak Murung yaitu Puruk berarti Gunung dan Cahu berarti Kualat. Jadi Puruk Cahu artinya gunung Kualat. Mengandung makna bahwa pada gunung tersebut telah terjadi perstiwa pelanggaran norma agama dan norma susila sehingga menyebabkan bencana.
Karena malu atas peristiwa tersebut maka Caha meninggalkan “Betang”, mudik sungai Beriwit akhirnya menetap di Liang Pandan. Sedangkan Ibunya beserta Singa Sakah sekeluarga juga turut mengasingkan diri di Kurung Pajang yaitu tepatnya antara Puruk Cahu dengan desa Tino Talih sekarang.
Di Kerajaan Banjar (Kota Banjarmasin sekarang) banyak terdapat kebun lada, kopi, emas dan intan. Aset ini sangat menggiurkan Kolonial Belanda untuk menguasai Kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar pada saat itu di bawah pimpinan seorang raja bernama Pangeran Antasari dengan gelar Penambahan Amiruddin Chalifatur Mukminin, Beliau adalah putera Pangeran Mashud, sedangkan Pangeran Mashud sendiri adalah putera dari Pangeran Amir. Pangeran Antasari memiliki dua isteri yang syah. Anak pertama dari isteri pertamanya bernama Gusti Panembahan Muhamad Said dan isteri yang kedua bernama Patimah melahirkan seorang putera bernama Gusti Panembahan Muhammad Seman.
Pada tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari mengeluarkan pengumuman “Perang” dan sekaligus menyerang Benteng Belanda di Pengaron (tambang batu arang Oranye Nassau dan Juliana), dikenal dengan Perang Banjar atau Perang Barito.
Dalam perjuangan Pangeran Antasari melawan Kolonial Belanda, Pangeran Antasari mendirikan benteng-benteng pertahanan antara lain: Benteng Gunung Tongka, Halau-halau, Madang, Gunung Jabuk, Haur, Tongka. Sebagai benteng terakhir dan terkuat terletak di puncak gunung Bukit Bagantung Kecamatan Awayan Hulu-Sungai Utara.
Belanda menggunakan siasat politik Adu Domba, Belanda menghasut rakyat sehingga perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda tidak banyak membawa hasil. Sehingga pada tanggal 11 Juni 1860, Belanda mengeluarkan pernyataan bahwa kerajaan Bajar dihapus, bendera kerajaan Banjar ditarik dan tidak boleh dikibarkan dimanapun juga. Dan Kerajaan Banjar dikuasai Belanda.
Pangeran Antasari mengungsi di Bayan Begok kampung Sampirang (sungai Tewei Kecamatan Teweh Timur-Barito Utara) hingga tutup usia dalam umur 65 tahun, tepatnya pada tanggal 11 Oktober 1862 karena sakit serangan jantung. Pada tanggal 11 Nopember 1958, tulang-belulang jenazah Pangeran Antasari (Almarhum) beserta jenazah Ratu Antasari (isteri Almarhum) ditanamkan kembali di Makam Pahalawan Perang Banjar-Banjarmasin.
Dalam perkembangannya perkampungan “Likun Puan” terus berkembang, di tengah peperangan melawan Belanda berkecamuk. Kedua putera Pangeran Antasari yaitu Gusti Panembahan Muhamad Said, kemudian di Puruk Cahu dikenal dengan Sultan Muhamad Said dan Gusti Panembahan Muhammad Seman, dikenal dengan Sultan Muhammad Seman, beserta seluruh keluarga, pengawal dan abdinya serta seorang pejuang wanita bernama puteri Djaleha mengungsi ke “Likun Puan”.
Pada tahun 1890 Belanda mulai memasuki wilayah Puruk Cahu, kedua putera Pangeran Antasari melanjutkan perjuangan Ayahndanya (Perang Barito) dan menjadikan Puruk Cahu sebagai basis perlawanan melawan Kolonial Belanda.
Dalam peristiwa Perang Barito di Puruk Cahu dan sekitarnya ada tiga lokasi yang paling terkenal sebagai tempat medan pertempuran yaitu sungai Manawing, Kalang Barah di sungai Manyakau dan Benteng Kucu.
Sakah bersama anaknya ikut serta berperang mengusir Kolonial Belanda. Beliau dikenal dengan nama Singa Sakah dan salah satu cucu Beliau bernama Kyai Ajang berperan sebagai Punggawa di bawah pimpinan Sultan Muhammad Seman. Namun sayang dalam peperangan ini pasukan Sultan Muhammad Seman belum berhasil menundukan Belanda. Dan pada tanggal 1 Januari 1905 Sultan Muhamad Seman gugur dalam pertempuran melawan pasukan Kapten Cristoffel di Puruk Cahu. Dengan gugurnya Sultan Muhamad Seman dalam pertempuran maka berakhirlah Perang Barito.
Sultan Said beserta keluarga, pengawal dan abdi Beliau mengungsi hingga tutup usia dan dikebumikan pinggir sungai Manawing tepatnya “Beras Kuning” sekarang. Sedangkan Sultan Muhammad Seman dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jl. Pahlawan Puruk Cahu.
Pada tahun 1901 Belanda membentuk pemerintahan di Puruk Cahu yang kala itu disebut District (wilayah Administrasi) yang selanjutnya dinamakan District Barito Hulu dipimpin oleh seorang Controluer berkebangsaan Belanda berpangkat Kapten yaitu Kapten Cristoffel sebagai komandan Territorial serta merangkap Komandan Kompi di dampingi oleh Kyai Syahdan dan Penghulu Agama H. M. Amin dengan membawahi beberapa Onderdistrict atau setingkat Kecamatan.
Pemerintahan Belanda telah membentuk 4 (empat) wilayah Onderdistrict di wilayah District Barito Hulu, yaitu:
1. Onderdistrict Murung dengan Ibukotanya Puruk Cahu.
2. Onderdistrict Laung dan Tuhup dengan Ibukotanya Muara Laung.
3. Onderdistrict Siangland dengan Ibukotanya Saripoi.
4. Onderdistrict Barito Brongeheid dengan Ibukotanya Muara Joloi I.
Pada tahun 1939-1940 di Muara Sungai Soko di atas perbukitan “Puruk Cahu” tepatnya di sekitar “Betang” milik Caha, kolonial Belanda mulai membangun sebuah Port (benteng) sebagai basis pertahanan untuk menangkal setiap serangan musuh dari luar, baik dari orang asing selain Belanda maupun orang pribumi (orang Indonesia) yang sekarang menjadi Markas Kompi Senapan C 631/Antang..
Keberadaan District Barito Hulu yang dibangun oleh Pemerintahan Kolonial Belanda pada waktu itu telah memberi perubahan terhadap kehidupan penduduk Likun Puan karena posisinya sangat strategis yaitu sebagai daerah transit bagi masyarakat Onderdistrict dan pusat pemerintahan.
Seiring dengan keberadaan District Barito Hulu, Pemerintahan Kolonial Belanda mengembangkan pembangunan dari Port (Benteng) menuju ke arah Utara sehingga bergabung dengan perkampungan Likun Puan, terbentuklah sebuah kota kecil yang dikenal dengan nama Puruk Cahu Beriwit, sekarang menjadi Kelurahan Beriwit.
Kota Puruk Cahu Beriwit selanjutnya diduduki oleh Belanda maka Puruk Cahu Beriwit berkembang ke arah seberang sungai Barito tepatnya di “Datah Sangkai” selanjutnya membentuk sebuah perkampungan sehingga dikenal dengan nama Puruk Cahu Seberang, sekarang menjadi Kelurahan Puruk Cahu.
Sejak pengembangan pembangunan District Barito Hulu nama perkampungan Likun Puan jarang disebut, bahkan sekarang masyarakat Murung Raya pun tidak banyak yang tahu kalau cikal-bakal Kota Puruk Cahu adalah perkampungan Likun Puan karena masyarakat lebih akrab dengan nama Puruk Cahu.
Demikian asal usul nama Puruk Cahu, kini Puruk Cahu sudah menjadi Ibukota Kabupaten Murung Raya memiliki 10 (sepuluh) Kecamatan, 9 (sembilan) Kelurahan dan 115 (seratus lima belas ) Desa. Dengan julukan “Tana Malai Tolung Lingu artinya memiliki tanah yang subur, makmur dan masyarakatnya ramah sehingga selalu menjadi kenangan oleh setiap orang” motto “Tira Tangka Balang artinya pantang mundur”, disertakan visi yaitu “Terwujudnya Kabupaten Otonom yang mandiri, Maju dan Sejahtera dengan dukungan kualitas SDM serta potensi SDA yang tersedia dalam lingkungan yang harmonis berdasarkana budaya dan adat istiadat yang dinamis”.***

Asal Usul Dayak

Pada masa lalu, ada mayat yang dikubur dengan cara dibakar; ada yang berjalan ke lubang kuburnya sendiri; ada yang dibiarkan berada dalam peti mati yang tertutup rapat selama berbulan-bulan menunggu para pengayau kembali dengan membawa beberapa kepala hasil kayauan; tetapi ada juga yang dikubur dengan cara biasa. Itulah gambaran multikulturalisme Dayak.

Dayak bukanlah identitas yang mengacu pada satu komunitas saja. Bahkan kesepakatan tentang penggunaan istilah Dayak sendiri sesungguhnya belum tuntas. Lihat misalnya buku karangan Mikhail Coomans (1987) atau Herman Joseph van Hulten (1992) atau bahkan yang penulisnya adalah orang Dayak sendiri, Thambun Anyang (1998) yang semuanya menggunakan istilah ‘Daya’ bukan Dayak. Bahkan beberapa penulis lain ada yang menggunakan istilah Dyak atau Daya’. Versi manakah yang benar? Yang benar, istilah itu bukan berasal dari orang Dayak. Ia bukan istilah yang given melainkan gifted yakni istilah yang diberikan oleh orang lain. Dayak bukan primary ethnicity melainkan secondary ethnicity, yakni identitas yang digunakan orang Dayak dalam berhubungan dengan etnis lain daripada antarsesama Dayak. Adapun yang menyangkut beragamnya versi penulisan kata Dayak, mungkin juga merefleksikan salah satu aspek multikulturalisme tersebut.

Karenanya, jika yang kita maksud dengan Dayak adalah penduduk asli Kalimantan, maka sesungguhnya kita berbicara tentang ratusan identitas (sub)etnis yang - selain adalah penduduk asli Kalimantan - memiliki beberapa persamaan umum saja misalnya dalam hal asal-usul, worldviews atau bentuk fisik. Bahasa orang Dayak itu ratusan, upacara adatnya berlainan, tradisinya juga berbeda-beda. Tradisi mengayau misalnya. Salah besar jika mengatakan bahwa semua orang Dayak pada zaman dulu adalah pengayau. Anggapan ini sama saja dengan mengatakan bahwa semua orang Dayak beragama Kristen atau semua yang berperang dengan orang Madura itu Dayak. Singkat kata, Dayak itu multietnis, tentu saja jika definisi etnis kita persempit.

Karena Dayak itu ‘multietnis’, maka tidaklah terlalu sulit untuk menemukan multikulturalisme dalam kebudayaannya, sebab realitas Dayak sendiri sudah multikultur. Bahasanya berbeda-beda, demikian pula tradisi yang dimiliki masing-masing subetnis. Karena itulah dalam realitas eksistensial komunitas-komunitas tersebut, pada suatu masa dalam sejarah di masa lampau, komunitas-komunitas Dayak itu adalah orang lain satu sama lain. ‘Orang lain’ tidak hanya berarti tidak tergabung dalam sebuah identitas kolektif–atau semacam ‘pan-dayakisme’ –seperti yang dikenal sekarang, tetapi beberapa di antara komunitas tersebut juga saling serang dan saling bunuh secara fisik. Sehingga pemerintah kolonial Belanda perlu mengambil inisiatif untuk mengumpulkan wakil-wakil komunitas tersebut di Tumbang Anoi (Kalimantan Tengah sekarang) pada 1894 dalam rangka menyelesaikan pertengkaran-pertengkaran akibat berbagai perkara pembunuhan, penahanan, dan perampokan. Harap dicatat bahwa menurut SW Tromp, Residen Kalimantan Afdeling Barat yang melaporkan dari pertemuan tersebut, pesertanya tidak hanya perwakilan dan Kepala Adat Dayak tetapi juga Kepala Adat Melayu.

Pertemuan Tumbang Anoi tidak hanya membuktikan bahwa orang Dayak pada masa lampau terlibat dalam permusuhan satu sama lain dan dengan etnis lain, tetapi juga (dan ini yang penting) bahwa secara kultural mereka memiliki potensi untuk menyelesaikan segala permusuhan dan dendam yang ada. Dengan kata lain, mereka memiliki semangat rekonsiliasi yang secara konkret dibuktikan –salah satunya– melalui pertemuan di Tumbang Anoi itu. Benarkah orang Dayak bisa berdamai dan memaafkan? Unsur-unsur budaya Dayak manakah yang memungkinkan untuk itu?

Budaya Rumah Panjang

Seandainya budaya rumah panjang orang Dayak tidak dihancurkan dan dibiarkan hancur menjelang akhir 1960-an dan awal 1970-an, perang antaretnis yang marak belakangan ini akan lebih mudah dicarikan solusinya. Setiap rumah panjang yang terdiri dari puluhan KK itu (ada yang ratusan juga), memiliki seorang pemimpin atau Tuai Rumah (Dayak Iban). Peranan Tuai Rumah tidak seperti Kepala Adat sekarang yang dijadikan bawahan Kepala Desa (Gabungan) dan mengantongi SK dari bupati, meskipun di banyak tempat usaha ini tidak selalu efektif untuk memorak-porandakan kepemimpinan beberapa kepala adat yang ada. Tuai Rumah adalah pemimpin sejati yang berurat-berakar di komunitasnya, Komunitas Rumah Panjang. Ia memiliki akses terhadap aktivitas semua anggota komunitasnya termasuk apa yang mereka rasakan, inginkan, dan ekspresikan. Tindakan seorang warga komunitas pastilah diketahui oleh Tuai Rumah dan omongan Tuai Rumah didengarkan oleh warganya. Sangat kontras dengan omongan para tokoh adat sekarang yang kebanyakan tidak dihiraukan oleh komunitasnya. Warga komunitas rumah panjang yang bergerombol atau berkumpul dengan tujuan untuk melakukan sesuatu pun pasti sepengetahuan Tuai Rumah. Jadi, legitimasi kepemimpinannya jelas sehingga orang Dayak tidak mesti mencari-cari pemimpin lain seperti para panglima yang menjadi gejala umum sekarang (dan mulai menular ke etnis lainnya). Aparat keamanan dan para penegak hukum pun tidak usah repot-repot mencari provokator atau dalang, jika sesuatu terjadi.

Agar dapat melestarikan nilai-nilai budaya rumah panjang tersebut, dibutuhkan lingkungan fisik dan sosial yang mendukungnya. Rasa kebersamaan, saling percaya, dan semangat solidaritas yang sangat kuat dalam komunitas rumah panjang tidak bisa dibangun dari pintu ke pintu rumah warga yang tunggal seperti sekarang di bawah koordinasi Pak RT. Sebab untuk berkumpul dalam sebuah pertemuan saja, orang Dayak sekarang menuntut diberi surat undangan resmi dan tertulis, jika tidak, banyak di antara mereka tidak mau datang karena malu merasa tidak diundang.

Jadi, budaya rumah panjang menjamin adanya akses komunikasi yang efektif dan kepemimpinan yang jelas. Dua aspek ini sangat penting dalam proses penanganan sebuah konflik yang sedang terjadi.

Hukum Adat

Hukum adat dibuat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat berdasarkan norma-norma yang dianut. Sesuai dengan namanya, hukum adat berakar pada adat istiadat yang berlaku secara lokal, bukan hukum yang berkait berkelindan dengan tuntutan internasional dan global. Hukum adat jelas memiliki pula nilai-nilai universal, namun universalnya komunitas yang lokal. Hukum adat Dayak diberlakukan untuk mencegah tindakan-tindakan main hakim sendiri - dengan kekerasan maupun tidak - baik oleh warga komunitas yang bersangkutan maupun oleh warga luar terhadap komunitas tersebut. Orang Dayak sangat menghormati hukum adatnya dan dengan cara demikianlah mereka berhasil menyelesaikan 233 perkara secara adat dalam waktu dua bulan pada 1894 di Tumbang Anoi.

Masalah akan timbul bilamana hukum adat sekonyong-konyong, entah karena apa, menjadi seolah-olah tidak jalan, tidak sah, dan pintu keadilan lainnya pun (baca: supremasi hukum negara) menjadi mandul. Milik orang dirampas seenaknya, orang diusir, sumber kehidupannya dihancurkan, dan bahkan kadang-kadang dibunuh tanpa penyelesaian hukum yang jelas, atas nama ‘pembangunan’, ‘persatuan dan kesatuan’ atau ‘nasionalisme’. Kondisi ini akan membuat orang frustrasi dan bagi warga komunitas yang cenderung berpikiran sederhana, mereka biasanya tidak membutuhkan para provokator untuk mengambil alih hukum ke dalam tangannya sendiri, apalagi jika para provokator tersebut memang terbukti ada.

‘Universalitas’ hukum adat Dayak itu (yang berlaku di semua subetnis) ditandai dengan tidak dikenalnya hukuman mati dan karenanya tidak dikenal prinsip ‘nyawa ganti nyawa’. Jika orang Dayak membalas membunuh bilamana ada warga komunitasnya yang dibunuh, itu bukan karena prinsip ‘nyawa ganti nyawa’ melainkan karena keadilan telah dirampas dari mereka melalui mandulnya hukum adat yang mestinya berlaku atau hukum negara yang gagal berfungsi. Kalau hal itu terjadi sekali atau dua kali, biasanya tidak sampai memicu tindakan balas dendam. Namun, bila hal itu terjadi berulang kali apalagi sampai belasan kali oleh pelaku dari latar belakang yang relatif sama, maka orang menjadi sangat sensitif dan pembalasan sulit dihindari. Tengok saja pemerintah Amerika dan sekutunya yang mengklaim dirinya sebagai kampiun hak asasi manusia dan paling beradab, juga tidak bisa menghindarkan diri dari perangkap balas dendam tersebut.

Budaya Kolektif

Orang Dayak berpandangan bahwa alam ini adalah rumah bersama bagi semua makhluk, termasuk makhluk-makhluk yang tidak kelihatan. Karena itu, manusia tidak boleh memonopoli alam untuk kepentingan manusia semata. Atas prinsip inilah, unsur-unsur alam yang berseberangan dengan kepentingan manusia tetap harus diberi tempat untuk eksis. Makhluk-makhluk yang biasanya mengganggu kehidupan manusia seperti setan dan hantu juga diberi makan bilamana ada ritual yang berhubungan dengan hal tersebut diadakan. Harap diingat, bahwa memberi makan setan atau hantu tidak sama dengan ‘menyembah’ setan atau hantu; sama seperti jika kita memberi makan ayam, tidak berarti menyembah ayam. Intinya adalah, hubungan yang harmonis dengan semua unsur alam harus dipertahankan dengan memperlakukan semuanya secara proporsional dan adil, tidak dengan cara diskriminatif. Sebab semua yang ada di alam merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa. Jika Yang Maha Kuasa saja memberi kesempatan bagi semua makhluk, apalagi manusia.

Prinsip kebersamaan dalam budaya Dayak ini tidak main-main. Ada pepatah Dayak yang mengatakan, ‘Anjing saja diberi makan, apalagi manusia’. Ada juga pepatah lain yang mengatakan, ‘Sesama saudara diajak makan, tamu diberi beras’. Maksudnya adalah penghormatan terhadap keberadaan manusia seperti apa adanya. Seorang tamu yang belum diketahui secara persis latar belakangnya, mungkin memiliki cara-cara makan yang berbeda dengan orang Dayak sehingga memberikan ‘bahan makanan’ dianggap sebagai keputusan yang paling bijaksana agar sang tamu dapat mengolah makanan dengan cara yang sesuai dengan keadaannya. Semangat kebersamaan orang Dayak itu secara efektif dapat pula kita lihat dalam berbagai perang antaretnis yang terjadi di Kalimantan. Dalam kondisi geografis yang terpencar-pencar di pedalaman serta sarana komunikasi dan transportasi yang sangat tidak memadai, orang Dayak dengan mudah berkumpul. Mangkok Merah yang sering dipublikasikan sebagai sarana komunikasi orang Dayak itu, bukan merek handphone. Ia cuma sebuah mangkuk dengan beberapa tetes darah ayam, sepuntung rokok, selembar bulu ayam, dan secarik daun kajang yang biasa dipakai sebagai bahan untuk membuat atap rumah. Mangkuk itu diedarkan dari kampung ke kampung dengan berjalan kaki dan berlari, bukan melalui pesan e-mail. Dengan cara itu, orang Dayak sudah akan berkumpul secara cepat dan dalam jumlah yang fantastis.

Transformasi dan Rekonsiliasi

Jika semangat kebersamaan terhadap semua makhluk dalam budaya Dayak begitu kuat, mengapa mereka bisa menjadi sangat intoleran seperti yang kita lihat dalam beberapa pertikaian etnis yang terjadi di Kalimantan? Jawaban atas pertanyaan ini telah berusaha diberikan oleh banyak pengamat, analis, wartawan, dan peneliti. Beberapa di antaranya adalah kebijakan monokulturisme Orba, ketidakadilan, benturan budaya, lemahnya supremasi hukum, pertarungan politik, dan penindasan. Tulisan ini tidak akan memperpanjang daftar tersebut, melainkan apakah multikulturalisme Dayak itu bisa mewujudkan sebuah Kalimantan yang damai dalam keberagaman?

Orang Dayak sering kali diidentikkan orang lain dengan kebiadaban, keprimitifan, keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Waktu saya masih kecil dulu, seorang anak yang kena flu dan malas membuang ingusnya sehingga mengering di kedua pipinya, dikatakan, “Seperti anak Dayak saja kamu!” Di luar Kalimantan, banyak orang yang percaya (bahkan beberapa di antaranya sampai sekarang) bahwa orang Dayak itu berekor, membuat rumah di atas pohon, dan makan manusia mentah maupun masak.

Karena itu, jika ada perilaku orang yang idiot dan mengundang tertawaan, disebut dayak-dayakan (mudah-mudahan nama panggilan salah seorang pelawak terkenal itu tidak ada hubungannya dengan stereotipe ini). Beberapa media internasional pun masih mengeksploitasi stereotipe ini dalam pemberitaan mereka tentang berbagai peristiwa yang melibatkan orang dayak belakangan ini. Jika dibaca, style pemberitaan tersebut umumnya mengarah pada satu kesimpulan: orang Dayak itu semuanya pengayau dan makan manusia dan masih berlangsung hingga sekarang.

Ketika elite-elite politik berdebat tentang komposisi kabinet, orang Dayak tidak pernah disebut-sebut sebagai salah seorang yang harus ada wakilnya, terlepas dari berapa besar peranan mereka dalam menyumbang devisa kepada negara melalui hutan-hutan mereka yang diporak-porandakan dan budaya mereka yang dihancurkan. Toh, mereka sekarang sudah minoritas di Kalimantan dan yang lebih penting lagi belum ada yang cakap untuk menjadi pemimpin. Lagi pula, orang Dayak tidak pernah demonstrasi di Bundaran HI untuk diberi jatah kursi menteri, apalagi mengarak-arak bendera Kalimantan.

Dayak yang dulu beranggapan bahwa semua makhluk penghuni dunia harus diperlakukan dengan adil dan tamu-tamu harus disambut dengan ramah agar hidup mereka tenang dan damai, makin lama makin ragu. Kebaikan, kejujuran, dan kepolosan ternyata sekarang sudah tidak baik lagi. Orang sekarang main rampas, main ancam, main paksa, dan main bunuh. Siapa yang kuat dialah yang menang. Dunia sudah berubah; perilaku manusia cenderung kembali ke zaman nenek moyang yang mengayau dulu. Mereka belajar bahwa supaya bisa tetap eksis, mereka harus berani melawan. Pemerintah pun sekarang tidak bisa dipercaya lagi untuk memberikan perlindungan dan keadilan kepada mereka, termasuk para polisi dan tentara. Lihat saja tindakan perampasan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar terhadap tanah dan tempat tinggal mereka, semuanya dilakukan dengan izin resmi berdasarkan hukum pemerintah dan di-back-up oleh aparat. Hukum adat mereka sendiri tidak diakui, apalagi ditaati. Akibatnya mereka merasa disingkirkan, dikorbankan.

Karena itu, untuk menciptakan sebuah Kalimantan yang damai, pertama-tama kedilan harus ditegakkan. Keadilan tidak hanya menyangkut masalah ekonomi; tidak juga dengan memberikan otonomi yang hanya ditafsirkan sebagai melimpahkan penguasaan atas sumber daya ekonomi kepada pemerintah daerah. Keadilan adalah masalah eksistensial dan eksistensi menyangkut harkat dan martabat manusia yang melampaui aspek ekonomis semata.

Hukum adat yang merupakan wahana penyelesaian setiap permasalahan secara damai dan non-violence dalam masyarakat adat, mestinya diberdayakan dan diperkuat efektivitasnya melalui pengakuan yang jelas dan tegas akan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa hukum adat harus diberlakukan secara nasional sebab hakikat hukum adat adalah aturan yang berlaku secara lokal. Namun, peran hukum adat sebagai pelindung dan pengayom rasa keadilan komunitas yang menerapkannya harus didukung oleh negara.

Demikian pula kepemimpinan yang efektif seperti yang tergambar dalam pengelolaan komunitas rumah panjang yang berlandaskan adat istiadat yang berlaku dalam komunitas Dayak, membutuhkan usaha revitalisasi dan restitusi agar kembali menemukan efektivitasnya sehingga memudahkan komunikasi dan koordinasi dalam pemecahan masalah-masalah yang dihadapi. Dengan kehadiran pemimpin-pemimpin yang legitimate dalam masyarakat, solusi-solusi terhadap permasalahan yang timbul dapat diselesaikan secara dini melalui para pemimpin yang dihormati dan dihargai oleh masyarakatnya.

Beberapa hal dia atas, jika dilaksanakan mungkin tidak akan serta merta menyelesaikan secara tuntas dan permanen persoalan antaretnis yang sering terjadi di Kalimantan. Namun, setidak-tidaknya, jika masalah-masalah tersebut ditangani, niscaya akan menyentuh beberapa akar persoalan yang melatarbelakangi setiap konflik yang ada yakni terciptanya keadilan dalam sebuah Indonesia yang

test...test...mencoba untuk lebih terbuka dalam hidup